Pengertian dan Dasar Hukum Musyarakah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah musyarakah ini tidak terdapat dalam literatur fiqh Islam, tetapi baru diperkenalkan belum lama ini oleh para ekonom Islam yang menulis tentang skim-skim pembiayaan syari’ah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah tertentu, yaitu Syirkah al-amwal yang dibolehkan oleh seluruh ulama.
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dan Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadis, ataupun Ijma’ ulama.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian musyarakah ?
2.      Apa dasar hukum musyarakah ?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.      Pengertian musyarakah.
2.      Dasar hukum musyarakah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Musyarakah
Ada beberapa pengertian atau definisi musyarakah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh dan Perundangan Islam jilid V menjelaskan beberapa definisi musyarakah yang dikemukakan oleh para fuqaha. Diantara keempat tersebut, ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengemukakan pendapat yang hampir bersamaan mengenai musyarakah, perbedaannya hanya terdapat pada redaksi kata yang diucapkan tetapi makna yang terkandung didalamnya adalah sama yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad musyarakah yang disepakti  kedua belah pihak, masing-masing mempunyai hak bertindak hukum terhadap harta serikat tersebut, serta berhak mendapatkan keuntungan sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Pembiayaan musyarakah dalam praktek bank syariah dikenal dengan istilah joint venture yaitu bank menerima modal dari pihak lain dan berperan sebagai shahib al-mal serta penjamin modal yang diberikan. Pihak bank boleh saja ikut serta dan terlibat dalam kegiatan tersebut sesuai dengan aturan yang ditetapkan bank.
Akad musyarakah merupakan salah satu bentuk natural uncertainty contract yaitu  kontrak atau akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Tingkat returnnya bisa positif, negatif atau nol.
Sistem bagi hasil yang digunakan pada pembiayaan musyarakah menggunakan sistem profit share yaitu keuntungan dibagi bersama oleh pihak yang berakad. Profit yang didapatkan dari akad kerjasama muyarakah dibagi berdasarkan kesepakatan antara masing-masing pihak.[1]
Dari pendapat ini, kerugian tidak ada dibahas terdapat keuntungan saja. Begitupun dengan pembagian kerugian dari akad kerjasama yang disebut musyarakah ditanggung secara bersama.
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2]
Dimana karena musyarakah merupakan akad kerja sama di antara pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari maka kontrak perjanjian atau akad sebaiknya buat secara tertulis dan yang lebih baiknya ada para saksi yang hadir.
Dalam musyarakah sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu baik yang sudah berjalan maupun yang masih baru akan di jalankan. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut dengan bagi hasil yang telah di sepakati bersama pada waktu akad baik secara bertahap ataupun tunai. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang di jalankan oleh pelaksanaan proyek dan pemilik modal tidak boleh melakukan tindakan-tindakan seperti mengabungkan dana proyeknya dengan harta pribadinya, menjalankan proyek musyarakah dengan pihalk lain tanpa izin pemilik modal lainnya, setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaannya oleh pihak lain, setiap pemilik modal di anggap mengakhiri kerja sama apabila mengundurkan diri dari perserikatan, meninggal dunia, biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama, proyek yang akan di jalankan harus di sebutkan dalam akad setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan porsi kontribusi modal tersebut.
            Ahmed Ali Abdalla (dalam Yacoob dan Ibrahim, 1999) menguraikan beberapa aplikasi pembiayaan musyarakah bagi perbankan syariah yaitu:
Pertama, Musyarakah permanen, dimana pihak bank merupakan partner usaha tetap dalam suatu proyek/usaha. Model ini jarang dipraktikkan, namun investasi modal permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi surat-surat berharga atau saham, yang dapat dijadikan salah satu portofolio investasi bank.
Dalam musyarakah ini, bank dituntut untuk terlibat langsung dalam usaha yang menguntungkan selama masing-masing partner musyarakah menginginkannya. Namun demikian, sistem ini memiliki kekurangan, dimana pihak-pihak bank bisa kehilangan konsentrasi terhadap bisnis utamanya. Terutama jika proyek musyarakah permanen tadi sangat berbeda dengan core business dan kompetensi pihak bank. Selain itu, bank juga harus mengalokasikan sejumlah sumber daya yang mungkin akan tebatas.
Kedua, musyarakah digunakan untuk skim pembiayaan modal kerja (working capital). Bank merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi. Dalam skim ini, pihak bank akan menyediakan dana untuk membeli asset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya.
Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit, porsi kepemilikan bank atas asset dan alat produksi akan berkurang karena dibeli oleh para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol, model pembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan ini yang banyak diaplikasikan dalam perbankan syariah.
Ketiga, musyarakah digunakan untuk pembiayaan jangka pendek. Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan perdagangan seperti ekspor, impor, penyediaan bahan mentah dan keperluan-keperluan khusus nasabah lainnya.[3] Kontrak musyarakah dalam perdagangan berguna bagi bank Islam sebagai sarana untuk mencairkan modal secara cepat serta memacu perputaran modal lebih tinggi sehingga pengembalian modal kepada bank umumnya juga tinggi. Aktivitas bank dalam memberikan pembiayaan terhadap kontrak musyarakah yang berdasarkan pada perdagangan bertujuan untuk memperluas berbagai lapangan usaha, melayani berbagai macam usaha, dan meminimalisir segala resiko yang berkaitan dengan operasional investasinya.[4]
B.     Dasar Hukum Musyarakah
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadis, ataupun Ijma’ ulama. Diantara dalil yang memperbolehkan praktik akad musyarakah adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
http://www3.pmo.gov.my/webNotesApp/RqrMainM.nsf/9ca3c988a579811f48256722002425dc/5d036b391c91fbe8482566cd00325e0e/RqrKaligrafi/0.70?OpenElement&FieldElemFormat=gif
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang- orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikitlah mereka ini’’(QS. Shaad (38):24). Ayat ini merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz “al-khulatha” dalam ayat ini bisa diartikan saling bersekutu/partnership, bersekutu dalam konteks ini adalah kerjasama dua atau lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha perniagaan. Berdasarkan pemahaman ini, jelas sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan legalitas dari syariah.
2.      Hadis
عن ابي هريرة رفعه قل ان الله يقول انا ثا لث الشريكين ما لم يخنن احد هما صا حبه فاذا خانه خرجت من بينهما. ( رواهه ابو داود والحا كم عن ابي هريرة )

Dari abu hurairah Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya Allah azza wa jallah berfirman “aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu tidak ada yang menghianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka” (HR Abu Daud). Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah merupakan dalil lain diperbolehkan nya praktik musyarakah. Hadis ini merupakan hadist Qudsi, dan kedudukannya sahih menurut Hakim.
Dalam hadis ini, Allah memberikan pernyataan bahwa Dia akan bersama dua orang yang bersekutu dalam suatu usaha perniagaan, dalam arti Allah akan menjaga, memberikan pertolongan dan berkahnya atas usaha perniagaan yang dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakin berkenbang sepanjang tidak ada pihak yang berkhianat.
Jika terdapat pihak yang berkhianat diantara mereka maka Allah mengangkat pertolongan berkahnya atas usaha perniagaan yang dijalankan. Hadis ini secara jelas membenarkan praktik akad musyarakah, dan menunjukkan urgensi sifat amanah dan tidak membenarkan adanya khianat dalam kontrak musyarakah yang dijalankan.
3.      Ijma’
Taqrir Nabi adalah ketetapan Nabi atas sesuatu yang dilakukan oleh orang lain, dan merupakan salah satu metodologi yang bisa digunakan untuk menetapkan sebuah hukum.
Relevan dengan akad musyarakah, setelah Rasulullah Saw diutus menjadi Nabi, masyarakat telah memperaktikkan kontrak musyarakah, kemudian Rasulullah menetapkan akad musyarakah sah untuk digunakan masyarakat, sebagaimana banyak juga hadis Rasulullah yang menjelaskan keabsahan akad musyarakah. Taqrir Nabi ini bisa digunakan sebagai landasan hukum atas keabsahan penggunaan akad musyarakah.
4.      Kesepakatan Ulama
Kesepakatan ulama akan dibolehkannya akad musyarakah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu. Ulama muslim sepakat akan keabsahan kontrak musyarakah secara global, walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atas beberapa jenis musyarakah. Secara eksplisit, ulama telah sepakat akan praktik kontrak musyarakah, sehingga kontrak ini mendapat pengakuan dan legalitas syar’i.[5]
Akad musyarakah ini yang diterapkan pada bank-bank syari’ah di Indonesia juga telah mempunyai legalitas hukum yang sah berdasarkan pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 08/DSN – MUI/ IV/2000 yaitu:
”Bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiyaan musyarakahyaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki keunggulan dari segi kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga keuangan Syari’ah (LKS). Juga berdasarkan kaidah fiqh “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Dari ayat dan hadits serta fatwa DSN-MUI No: 08/DSN – MUI/ IV/2000 diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya akad musyarakah dalam Islam adalah boleh. Selain itu, implementasi pembiayaan musyarakah yang dilakukan oleh Bank-Bank Syariah umumnya dan Bank Aceh Syariah khususnya juga sah hukumnya secara Syariat, selama segala kegiatan yang dilakukan dalam transaksi tersebut tidak keluar dan menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.[6]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadis, ataupun Ijma’ ulama.
B.     Saran
Dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis membuka seluas-luasnya kepada pembaca atas saran dan kritik terhadap kekurangan pada makalah ini. Setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis terima secara lapang dada.


DAFTAR PUSTAKA

Rifqih Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah,cet I, Jakarta, P3E1 Press, 2008
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 1 dan 2; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Wiyono Slamet, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta; PT Grasindo, 2005


[2] Rifqih Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah,(cet I, Jakarta, P3E1 Press, 2008), hal. 321
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1 dan 2; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 207-209
[4] Wiyono Slamet, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta; PT Grasindo, 2005)
[5] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., h. 209-211

Comments

Popular posts from this blog

Khutbah Jumat Bahasa Bugis

Khutbah Bahasa Bugis

Khutbah Idul Adha Versi Bahasa Bugis